INTELIGENSI (KECERDASAN)
Definisi inteligensi
Clapade dan Stern mengatakan bahawa inteligensi adalah “kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru”
K. Buhler mengatakan bahwa inteligensi adalah “Perbuatan yang disertai pemahaman dan pengertian”
David Wechsler, seorang ahli di bidang ini mendefinisikan mengenai inteligensi sebagai “kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya” pada kesempatan lain ia mengatakan bahwa inteligensi adalah “kemampuan untuk bertindak secara terarah, rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif”.
Dari definisi-definisi di atas, maka dapat kita ketahuai ciri-ciri inteligensi diantaranya:
1. Inteligensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus di simpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasonal.
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah, pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan memecahkan masalah yang timbul dari dalam dirinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Intelengsi
1. Pengaruh faktor bawaan
Panyak penelitain yang menunjukan bahwa individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersank saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi tinggi (+ 0,50). Sedangkan akan kember memiliki korelasi sangat tinggi (+ 0, 90), sedangkan diantara individu yang tidak bersanak keluarga korelasinya renda sekali (+ 0, 20). Bukti lain dari adanya pengaruh bawaan ada hasil-hasil penelitian terhadap anak-anak yang diadopsi. IQ mereka ternyata masih biokorelasi tinggi dengan ayah/ibu yang sesungguhnya (bergerak antara + 0, 40 sampai + 50). Dedangkan korelasi dengan orang tua angkatnya sangat rendah (+ 0,10 sampai + 0,20). Selanjutnya study terhadap kembar yang diasuh secara terpisah, juga menunjukan bahwa IQ mereka tetap berkorelasi tinggi. Ini menunjukan bahwa walaupun lingkungan berpengaruh terhadap tarap kecerdasan seseorang, tetapi banyak hal dalam kecerdasan itu yang tetap tak terpengaruh.
2. Pengaruh faktor lingkungan
Walau ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak terlepas dari otak. Dengan kata lain perkembangan organik otak akan sangat mempengaruhi tingkat inteligensi seseorang. Di pihak lain perkembangan otak sangat dipengeruhi oleh gizi yang di konsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan inteligensi seseorang.
Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga peranan yang amat penting. Berbagai penelitian menunjukan bahwa inteligensi bisa berkurang karena tidak adanya bentuk rangsangan tertentu dalam awal-awal kehidupan individu. Skeels dan Skodak menemukan dalam study logitudinal mereka bahwa anak-anak yang didik dalam lingkungan yang kaku, kurang perhatian, kurang dorongan lalu di pindahkan kedalam lingkungan yang hagat, penuh perhatian, rasa percaya, dan dorongan, menunjukan peningkatan skor yang cukup berarti pada tes kecerdasan.
Zajonc dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa anak pertama biasanya memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari adik-adiknya. Oleh karena itu dijelaskan karena anak pertama untuk jangka waktu yang cukup lama hanya di kelilingi oleh orang-orang dewasa – suatu lingungan yang memberi keuntungan intelektual.
3. Stabilitas inteligensi dan IQ
Perama-tama, kita harus menyadari bahwa intelegensi bukanlah IQ, seperti akan dijelaskan kemudian, seperti dijielaskan di depan, intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedangkan IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi tertentu (yang notabene, hanya mengukur sebagian kecil dari itelegensi).
Bila kita membahas stabilitas intelegensi, maka kita merujuk pada suatu konsep yang umum tadi. Di depan sudah dijelaskan bahwa intelegensi sangat di pengaruhi oleh perkembangan organik otak seseorang. Oleh karena itu, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan otak, maka pada masa-masa pertumbuhan ( + sampai usia 20 thn) akan terjadi peningkatan intelegensi, setelah itu ada suatu masa-masa stabil, kemudian, sejalan dengan kemunduran organis otak, akan terdapat kecenderungan menurun. Penelitian yang dilakukan oleh David Wechsler (1958) menunjukan hasil seperti pada diagram dibawah ini.
Berbeda dengan intelegensi, stabilitas IQ tidak diukur semata-mata berdasarkan perubahan-perubahan fisik (umur yang sebenarnya), tetapi sudah mengacu pada norma kelompok (lihat uraian di bawah ini C). Pendekatan seperti ini akan menghasilkan skor IQ yang relatif stabil karena sekelompok mengalami masa-masa pertumbhan danpenurunan organis dalam periode yang hampir bersamaan.
4. Intelegensi dan IQ
Orang sering kali menyamakan arti intelegensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang amat mendasar. Arti intelegensi sudah dibicarakan di depan, sedangkan IQ, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intellegence Quotient adalah skor yang di peroleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age atau MA) dengan umur kronologok (Chronologikal Age atau C.A). Bila kemampuan individu dalam memcahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dngankemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia saat itu (umur kronologis) maka akan diperoleh skor 1. skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Bila MA lebih tinggi dari CA, akan diperoleh skor lebih tinggi dari 100 (yang mengindikasikan kemajuan intelektual). Sebaliknya, bila MA lebih rendah dari CA akan diperoleh skor ruang dari 100 yang mengindikasikan keterbelakangan inteletual).
Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan. Dengan demikian, MA akan mengalami stagnasi dan penurunan pada waktu tertentu, tetapi CA terus bertambah. Bila rumus diatas tetap dipakai, maka skor IQ seseorang akan turun drastis bila diukur kembali setelah ia berumur 50 tahun.
Masalah ini kemudian diatasi dengan membandingkan skor seseorang dengan skor orang lain dalam Kelompok umur yang sama. Cara ini disebut perhitungan IQ berdasarkan norma dalam kelompok (wihitin-group norms)-hasilnya adalah IQ penyimpangan atau deviation IQ.
Dengan cara perhitungan ini, maka orang yang IQ-nya sama dengan rata-rata kelompok akan memperoleh nilai 100. nilai yang lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai rata-rata kelompok akan kenentukan posisi IQ orang tersebut dalam kelompok umurnya.
Emotional Equotient
Emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap prilaku individu yang berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Interaksi antara kognisi, emosi, dan tindakan mencerminkan satu sistem hubungan sebab akibat. Albert Ellis mengungkapkan bahwa kognisi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap emosi dan tindakan, emosi juga berperan penting berkontribusi atau menjadi sebab terhadap kognisi dan tindakan, serta tindakan, serta tindakan berkontribusi atau menjadi penyebab kognisi dan emosi. Bila seseorang mengalami perubahan dalam salah satu dari ketiga ranah itu, maka cenderung akan mengalami perubahan dua lainnya. Reaksi emosi dapat secara akurat dan terkadang tidak akurat untuk diinterpretasikan apabila tidak memahami perkembangan individu karena antara kognisi, emosi dan motorik merupakan suatu sistem yang saling pengaruh timbal balik.
Meskipun banyak definisi mengenai emosi, satu yang diberikan oleh Arnold cukup jelas yaitu “Rasa dan/atau perasaan yang membuat kecenderungan yang mengarah terhadap sesuatu yang secara intuitif di nilai sebagai hal yang baik atau bermanfaat, atau menjauhi dari sesuatu yang secara intuitif dinilai buruk atau berbahaya. Tindakan itu diikuti oleh pola-pola perubahan fisiologis sejalan dengan mendekati atau menghindari obyek. Pola tindakan berbeda antara emosi yang berbeda.
Kata “Emosi” berasal dari bahasa latin “Emovere”: yang artinya “Bergerak ke luar”. Maksud setiap emosi adalah untuk menggerakan individu untuk menuju rasa aman dan pemenuhan kebutuhannya, serta menghindari sesuatu yang merugikan dan menghambat pemenuhan kebutuhan. Emosi dasar sangat diperlukan oleh individu untuk memperoleh kelestarian hidup karena emosi berkontribusi terhadap kestabilan seluruh kehidupannya. Sebagai contoh setiap orang membutuhkan cinta. Tetapi iapun perlu merasakan pula sakit hati (hurt) yang mengajarnya untuk menghadapi situasi yang membahayakan; takut (fear) yang mengantisipasi dan isyarat akan adanya bahaya; marah (anger) yang memindahkan hambatan untuk mencapai pemuasan kebutuhan; rasa bersalah (guilt) yang menolong untuk menghindari sesuatu yang dapat melukai dirinya.
Apabila emosi berfungsi secara sempurna, maka sesuai dengan maksudnya emosi akan menimbulkan gerakan dan arahan. Misalnya, apabila seorang laki-laki marah kepada isterinya maka terjadi tindakan (gerakan) terhadap isterinya (arahan). Bila dijabarkan ada empat kemungkinan proses emosi yang terjadi pada diri individu, yaitu: (1) orang dapat menekan emosi sehingga tidak ada gerakan dari arah tindakannya, (2) orang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengendalikan gerakan dan arah tindakan, (3) orang digerakan oleh emosi tetapi tidak memiliki arah, (4) orang digerakan oleh emosi tetapi dengan arah yang salah.
Reperansi Bacaan
1. Irwanto. Psikologi Umum, Prenhallindo. Jakarta. 2002
2. M. Surya. Psikologi Konseling, Pustaka Bani Quraisin Jakarta. 2003
3. Kenneth Giuffre, Memacu Kesehatan Otak. Gramedia. Jakarta. 1999
4. Akram Ridha Mursi, Puber Tanpa Masalah. Pustaka Hisayah. Bandung. 2000
5. Spiritual Equotient
Dalam bukunya Man the unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakita manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang mahluk-mahluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha-usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun ketika memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli dibidang keruhaniaan sepanjang masa ini. Tetapi kita (manusia) hanya mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan inipun pada hakikatnya di bagi lagi menurut tata-cara kita sendiri. Pada hakekatnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia – kepada diri mereka – hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh:
1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
2. Ciri khas manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks.
3. Multikompleksnya masalah manusia
Definisi inteligensi
Clapade dan Stern mengatakan bahawa inteligensi adalah “kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru”
K. Buhler mengatakan bahwa inteligensi adalah “Perbuatan yang disertai pemahaman dan pengertian”
David Wechsler, seorang ahli di bidang ini mendefinisikan mengenai inteligensi sebagai “kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya” pada kesempatan lain ia mengatakan bahwa inteligensi adalah “kemampuan untuk bertindak secara terarah, rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif”.
Dari definisi-definisi di atas, maka dapat kita ketahuai ciri-ciri inteligensi diantaranya:
1. Inteligensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus di simpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasonal.
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah, pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan memecahkan masalah yang timbul dari dalam dirinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Intelengsi
1. Pengaruh faktor bawaan
Panyak penelitain yang menunjukan bahwa individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersank saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi tinggi (+ 0,50). Sedangkan akan kember memiliki korelasi sangat tinggi (+ 0, 90), sedangkan diantara individu yang tidak bersanak keluarga korelasinya renda sekali (+ 0, 20). Bukti lain dari adanya pengaruh bawaan ada hasil-hasil penelitian terhadap anak-anak yang diadopsi. IQ mereka ternyata masih biokorelasi tinggi dengan ayah/ibu yang sesungguhnya (bergerak antara + 0, 40 sampai + 50). Dedangkan korelasi dengan orang tua angkatnya sangat rendah (+ 0,10 sampai + 0,20). Selanjutnya study terhadap kembar yang diasuh secara terpisah, juga menunjukan bahwa IQ mereka tetap berkorelasi tinggi. Ini menunjukan bahwa walaupun lingkungan berpengaruh terhadap tarap kecerdasan seseorang, tetapi banyak hal dalam kecerdasan itu yang tetap tak terpengaruh.
2. Pengaruh faktor lingkungan
Walau ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak terlepas dari otak. Dengan kata lain perkembangan organik otak akan sangat mempengaruhi tingkat inteligensi seseorang. Di pihak lain perkembangan otak sangat dipengeruhi oleh gizi yang di konsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan inteligensi seseorang.
Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga peranan yang amat penting. Berbagai penelitian menunjukan bahwa inteligensi bisa berkurang karena tidak adanya bentuk rangsangan tertentu dalam awal-awal kehidupan individu. Skeels dan Skodak menemukan dalam study logitudinal mereka bahwa anak-anak yang didik dalam lingkungan yang kaku, kurang perhatian, kurang dorongan lalu di pindahkan kedalam lingkungan yang hagat, penuh perhatian, rasa percaya, dan dorongan, menunjukan peningkatan skor yang cukup berarti pada tes kecerdasan.
Zajonc dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa anak pertama biasanya memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari adik-adiknya. Oleh karena itu dijelaskan karena anak pertama untuk jangka waktu yang cukup lama hanya di kelilingi oleh orang-orang dewasa – suatu lingungan yang memberi keuntungan intelektual.
3. Stabilitas inteligensi dan IQ
Perama-tama, kita harus menyadari bahwa intelegensi bukanlah IQ, seperti akan dijelaskan kemudian, seperti dijielaskan di depan, intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedangkan IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi tertentu (yang notabene, hanya mengukur sebagian kecil dari itelegensi).
Bila kita membahas stabilitas intelegensi, maka kita merujuk pada suatu konsep yang umum tadi. Di depan sudah dijelaskan bahwa intelegensi sangat di pengaruhi oleh perkembangan organik otak seseorang. Oleh karena itu, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan otak, maka pada masa-masa pertumbuhan ( + sampai usia 20 thn) akan terjadi peningkatan intelegensi, setelah itu ada suatu masa-masa stabil, kemudian, sejalan dengan kemunduran organis otak, akan terdapat kecenderungan menurun. Penelitian yang dilakukan oleh David Wechsler (1958) menunjukan hasil seperti pada diagram dibawah ini.
Berbeda dengan intelegensi, stabilitas IQ tidak diukur semata-mata berdasarkan perubahan-perubahan fisik (umur yang sebenarnya), tetapi sudah mengacu pada norma kelompok (lihat uraian di bawah ini C). Pendekatan seperti ini akan menghasilkan skor IQ yang relatif stabil karena sekelompok mengalami masa-masa pertumbhan danpenurunan organis dalam periode yang hampir bersamaan.
4. Intelegensi dan IQ
Orang sering kali menyamakan arti intelegensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang amat mendasar. Arti intelegensi sudah dibicarakan di depan, sedangkan IQ, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intellegence Quotient adalah skor yang di peroleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age atau MA) dengan umur kronologok (Chronologikal Age atau C.A). Bila kemampuan individu dalam memcahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dngankemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia saat itu (umur kronologis) maka akan diperoleh skor 1. skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Bila MA lebih tinggi dari CA, akan diperoleh skor lebih tinggi dari 100 (yang mengindikasikan kemajuan intelektual). Sebaliknya, bila MA lebih rendah dari CA akan diperoleh skor ruang dari 100 yang mengindikasikan keterbelakangan inteletual).
Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan. Dengan demikian, MA akan mengalami stagnasi dan penurunan pada waktu tertentu, tetapi CA terus bertambah. Bila rumus diatas tetap dipakai, maka skor IQ seseorang akan turun drastis bila diukur kembali setelah ia berumur 50 tahun.
Masalah ini kemudian diatasi dengan membandingkan skor seseorang dengan skor orang lain dalam Kelompok umur yang sama. Cara ini disebut perhitungan IQ berdasarkan norma dalam kelompok (wihitin-group norms)-hasilnya adalah IQ penyimpangan atau deviation IQ.
Dengan cara perhitungan ini, maka orang yang IQ-nya sama dengan rata-rata kelompok akan memperoleh nilai 100. nilai yang lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai rata-rata kelompok akan kenentukan posisi IQ orang tersebut dalam kelompok umurnya.
Emotional Equotient
Emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap prilaku individu yang berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Interaksi antara kognisi, emosi, dan tindakan mencerminkan satu sistem hubungan sebab akibat. Albert Ellis mengungkapkan bahwa kognisi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap emosi dan tindakan, emosi juga berperan penting berkontribusi atau menjadi sebab terhadap kognisi dan tindakan, serta tindakan, serta tindakan berkontribusi atau menjadi penyebab kognisi dan emosi. Bila seseorang mengalami perubahan dalam salah satu dari ketiga ranah itu, maka cenderung akan mengalami perubahan dua lainnya. Reaksi emosi dapat secara akurat dan terkadang tidak akurat untuk diinterpretasikan apabila tidak memahami perkembangan individu karena antara kognisi, emosi dan motorik merupakan suatu sistem yang saling pengaruh timbal balik.
Meskipun banyak definisi mengenai emosi, satu yang diberikan oleh Arnold cukup jelas yaitu “Rasa dan/atau perasaan yang membuat kecenderungan yang mengarah terhadap sesuatu yang secara intuitif di nilai sebagai hal yang baik atau bermanfaat, atau menjauhi dari sesuatu yang secara intuitif dinilai buruk atau berbahaya. Tindakan itu diikuti oleh pola-pola perubahan fisiologis sejalan dengan mendekati atau menghindari obyek. Pola tindakan berbeda antara emosi yang berbeda.
Kata “Emosi” berasal dari bahasa latin “Emovere”: yang artinya “Bergerak ke luar”. Maksud setiap emosi adalah untuk menggerakan individu untuk menuju rasa aman dan pemenuhan kebutuhannya, serta menghindari sesuatu yang merugikan dan menghambat pemenuhan kebutuhan. Emosi dasar sangat diperlukan oleh individu untuk memperoleh kelestarian hidup karena emosi berkontribusi terhadap kestabilan seluruh kehidupannya. Sebagai contoh setiap orang membutuhkan cinta. Tetapi iapun perlu merasakan pula sakit hati (hurt) yang mengajarnya untuk menghadapi situasi yang membahayakan; takut (fear) yang mengantisipasi dan isyarat akan adanya bahaya; marah (anger) yang memindahkan hambatan untuk mencapai pemuasan kebutuhan; rasa bersalah (guilt) yang menolong untuk menghindari sesuatu yang dapat melukai dirinya.
Apabila emosi berfungsi secara sempurna, maka sesuai dengan maksudnya emosi akan menimbulkan gerakan dan arahan. Misalnya, apabila seorang laki-laki marah kepada isterinya maka terjadi tindakan (gerakan) terhadap isterinya (arahan). Bila dijabarkan ada empat kemungkinan proses emosi yang terjadi pada diri individu, yaitu: (1) orang dapat menekan emosi sehingga tidak ada gerakan dari arah tindakannya, (2) orang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengendalikan gerakan dan arah tindakan, (3) orang digerakan oleh emosi tetapi tidak memiliki arah, (4) orang digerakan oleh emosi tetapi dengan arah yang salah.
Reperansi Bacaan
1. Irwanto. Psikologi Umum, Prenhallindo. Jakarta. 2002
2. M. Surya. Psikologi Konseling, Pustaka Bani Quraisin Jakarta. 2003
3. Kenneth Giuffre, Memacu Kesehatan Otak. Gramedia. Jakarta. 1999
4. Akram Ridha Mursi, Puber Tanpa Masalah. Pustaka Hisayah. Bandung. 2000
5. Spiritual Equotient
Dalam bukunya Man the unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakita manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang mahluk-mahluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha-usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun ketika memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli dibidang keruhaniaan sepanjang masa ini. Tetapi kita (manusia) hanya mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan inipun pada hakikatnya di bagi lagi menurut tata-cara kita sendiri. Pada hakekatnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia – kepada diri mereka – hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh:
1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
2. Ciri khas manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks.
3. Multikompleksnya masalah manusia
0 komentar:
Posting Komentar